“Kamu sekolah baik-baik nak, supaya nanti bisa jadi pegawai. Jangan seperti bapakmu ini yang tidak sekolah dan terpaksa menghabiskan tenaga dan umur di sawah sebagai petani. Jadi petani tidak ada enaknya…” Itulah pesan yang masih terus saya ingat dari almarhum ayah saya saat memberi nasehat sebelum berangkat ke Makassar untuk melanjutkan sekolah selepas lulus SLTP. Saat itu saya dianjurkan masuk ke salah satu SMK favorit di Makassar dengan harapan setelah lulus bisa langsung kerja dan bisa membantu ekonomi keluarga. Tentunya harapan yang sama datang dari sebagian besar orang tua yang menyekolahkan anaknya di SMK maupun yang kuliah di Perguruan Tinggi. Berharap anaknya kelak lulus dan menjadi seorang pegawai dengan penghasilan yang layak. Namun, tidak semua impian dan harapan para orang tua bisa terwujud.
Setelah lulus, dengan berbekal selembar ijazah dan skill yang diperoleh selama sekolah ataupun kuliah tidaklah cukup untuk mewujudkan harapan orang tua. Lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Maka tidak mengherankan jika dalam setiap perekrutan baik untuk pegawai negeri maupun swasta, para pencari kerja harus bersaing ketat. Terkadang yang diseleksi ratusan bahkan ribuan namun yang akan diterima hanya puluhan orang saja. Akibatnya jumlah pengangguran setiap tahunnya pun meningkat. Data dari BPS per Februari 2012 menyebutkan 7,6 juta penduduk Indonesia masih menganggur dari 120,4 juta orang angkatan kerja yang ada. Sementara setiap tahunnya sekolah-sekolah dan kampus di negeri ini terus memproduksi tenaga kerja yang katanya siap pakai, namun kenyataan yang harus diterima adalah siap menganggur.
Sistem pendidikan yang ada di negeri ini melahirkan pencari kerja baru setiap tahunnya, bukan pencipta lapangan kerja baru. Hal ini disebabkan oleh mindset atau polapikir yang ditanamkan selama kuliah. Bahwa tujuan kuliah adalah untuk mendapatkan pekerjaan dan kuliah dianggap sukses ketika lulus mendapatkan pekerjaan yang diidamkan seperti menjadi pegawai negeri, pegawai bumn, karyawan di perusahaan besar ataupun pegawai bank. Hanya sedikit yang berpikiran untuk mengembangkan usaha dan merekrut tenaga kerja. Bahkan sebagian besar yang gagal dalam mencari kerja lebih memilih untuk menganggur dan menunggu kesempatan berikutnya demi mendapatkan pekerjaan idaman tadi.
Sebagian lagi, daripada menganggur akhirnya terpaksa bekerja di perusahaan swasta dengan status kontrak maupun outsourcing, ada juga yang mengabdi di kantor-kantor negeri sebagai tenaga honor dengan penghasilan seadanya sesuai standar Upah Minimum Regional (UMR) bahkan di bawah standar. Atau kebanyakan bekerja di pabrik sebagai buruh dengan gaji pas-pasan dan setiap saat harus rela di PHK jika tidak dibutuhkan lagi tanpa pesangon. Para buruh hanya bisa merayakan tanggal 1 Mei setiap tahun sebagai ritual jutaan kaum buruh seluruh dunia termasuk Indonesia untuk memperjuangkan nasib mereka yang dikenal dengan istilah May Day. Para buruh melakukan aksi besar-besaran menyuarakan aspirasi dan tuntutan mereka untuk mendapatkan hidup dengan upah yang sejahtera dan penghapusan sistem kerja kontrak (outsourcing). May Day atau hari buruh bermula dari perjuangan kelas pekerja untuk menentang tirani para kapitalis yang memegang kendali ekonomi dan industri di awal abad 19. Dan sampai sekarang terus diperingati dengan tuntutan yang serupa yaitu tuntutan atas kesejahteraan dan kehidupan yang layak, termasuk di dalamnya berkaitan upah yang layak, jaminan sosial seperti jaminan kesehatan dan pensiun, masalah kontrak kerja, dsb.
Di Indonesia, nasib kaum buruh tidak kunjung berubah meskipun pergantian rezim terus terjadi di negeri ini. Reformasi pada tahun 1998 diharapkan menjadi titik tolak perubahan buat bangsa ini termasuk kaum buruh dengan perubahan kondisi ekonomi, namun jauh panggang dari api. Yang diharapkan jauh dari kenyataan, ekonomi negeri ini terus terpuruk dan kalangan buruh harus tetap dalam penderitaan, bekerja dalam tekanan, dengan upah minimal dan terus dibayangi oleh ancaman PHK.
Tentu sebuah hal yang sangat memilukan, apalagi orang tua yang awalnya menaruh harapan besar dengan menyekolahkan anak-anaknya agar kelak mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun kenyataan harus diterima, mendapatkan pekerjaan ideal itu tidak mudah. Dan akhirnya muncul pola pikir orang tua bahwa buat apa menyekolahkan anak sampai sarjana kalo akhirnya menganggur juga atau hanya jadi buruh di pabrik dengan nasib yang tidak jauh beda dengan para petani di kampung. Bukan berarti pekerjaan buruh itu adalah hal yang hina dan rendah, karena bekerja sebagai buruh justru jauh lebih terhormat daripada jadi pegawai/pejabat korup yang mencuri uang rakyat. Hanya saja di saat sekarang sebagai buruh tentunya tidak bisa berharap banyak untuk hidup sejahtera, karena penghasilan yang ada hanya cukup untuk biaya sehari-hari, belum lagi biaya kebutuhan yang terus meningkat karena inflasi dan kenaikan harga bahan pokok.
Lantas sampai kapan hal tersebut terjadi dan siapa yang harus bertanggung jawab? Hari buruh yang diperingati sehari sebelum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di bulan Mei harusnya jadi bahan evaluasi untuk kita semua. Sebagai orang tua harusnya niat untuk menyekolahkan anak tinggi-tinggi bukan didasari karena untuk mendapatkan pekerjaan idaman karena hal itu justru membebani anak. Harusnya diniatkan sebagai sebuah kewajiban yang dilakukan demi memberikan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Anak yang dibiayai pendidikannya dari TK sampai perguruan tinggi juga harusnya sadar, tidak menyia-nyiakan pengorbanan orang tua kemudian membangun pola pikir kreatif agar setelah lulus tidak menjadi sekedar job seeker (pencari kerja) tapi bisa menjadi job creator (pencipta lapangan kerja). Para guru dan dosen dengan kurikulum pendidikan yang ada juga berperan membentuk pola pikir mahasiswa. Pihak kampus disamping membantu menjembatani lulusan dengan pihak industri juga harus bisa membantu lulusan yang ingin membuka usaha. Dan pemerintah yang punya peranan besar dalam hal ini harus mampu menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya, akses pendidikan yang mudah dan murah, bantuan modal untuk pelaku usaha kecil dan perbaikan nasib buruh dengan aturan pengupahan yang adil. Sehingga kita sekolah, kemudian jadi buruh tidak menjadi masalah lagi karena bekerja sebagai buruh juga bisa hidup sejahtera.
Namun, melihat kondisi negara saat ini yang menjadikan kapitalisme liberalisme sebagai kiblatnya, kita tidak bisa berharap banyak akan perubahan meskipun rezim terus berganti karena sistem kapitalisme lebih berpihak kepada para pemilik modal, para pekerja hanyalah objek dan kaum melarat yang dimanfaatkan guna memuluskan upaya para konglomerat mengumpulkan modal sebesar-besarnya. Kita berharap sistem kapitalisme ini segera punah dan digantikan oleh sistem yang adil dan manusiawi yaitu sistem yang dibuat oleh pencipta manusia itu. Salah satu contoh dalam sistem Islam negara tidak boleh mematok tingkat upah minimum sebab hal itu adalah haram. Besaran upah itu ditentukan berpatokan pada nilai manfaat yang diberikan oleh pekerja, bukan berpatokan pada kebutuhan hidup minimum seperti dalam kapitalisme. Dan semoga saja sistem ini segera berlaku. Aamiin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar